Generasi
meninggalkan Shalat & Mengikuti Syahwat
Oleh:
H. Hartono Ahmad Jaiz
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ
وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ
يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ
فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا
اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. قَالَ تَعَالَى:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا
اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا.
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ
وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.
أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ،
وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ
فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ
وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
Allah Ta’ala berfirman:
"Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat
oleh Allah, yaitu para Nabi dari keturunan Adam, dan dari keturunan Ibrahim dan
Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami
pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur
dengan bersujud dan menangis. Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang
jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memper-turutkan hawa nafsunya, maka
mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka
itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun." (terjemah
QS. Maryam: 58-60).
Ibnu Katsir
menjelaskan, generasi yang adhoo’ush sholaat itu, kalau mereka sudah
menyia-nyiakan sholat, maka pasti mereka lebih menyia-nyiakan
kewajiban-kewajiban lainnya. Karena shalat itu adalah tiang agama dan pilarnya,
dan sebaik-baik perbuatan hamba. Dan akan tambah lagi (keburukan mereka) dengan
mengikuti syahwat dunia dan kelezatannya,, senang dengan kehidupan dan kenikmatan
dunia. Maka mereka itu akan menemui kesesatan,, artinya kerugian di hari
qiyamat.
Adapun maksud
lafazh Adho’us sholaat ini, menurut Ibnu Katsir, ada beberapa pendapat. Ada
orang-orang yang berpendapat bahwa adho'us sholaat itu meninggalkan sholat
secara keseluruhan (tarkuhaa bilkulliyyah). Itu adalah pendapat yang dikatakan
oleh Muhammad bin Ka’ab Al-Quradhi, Ibnu Zaid bin Aslam, As-Suddi, dan pendapat
itulah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Pendapat inilah yang menjadi pendapat
sebagian orang salaf dan para imam seperti yang masyhur dari Imam Ahmad, dan
satu pendapat dari As-Syafi’i sampai ke pengkafiran orang yang meninggalkan
shalat (tarikus sholah) setelah ditegakkan, iqamatul hujjah (penjelasan dalil),
berdasarkan Hadits:
بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ تَرْكُ الصَّلاَةِ (رواه
مسلم في صحيحه برقم: 82 من حديث جابر).
“(Perbedaan) antara hamba dan kemusyrikan
itu adalah meninggalkan sholat.” (HR Muslim dalam kitab Shohihnya nomor 82 dari
hadits Jabir).
Dan Hadits
lainnya:
الْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ، فَمَنْ
تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ. (رواه الترمذي رقم 2621 والنسائ 1/231 ،وقال الترمذي :هذا
حديث حسن صحيح غريب).
“Batas yang ada di antara kami dan mereka adalah sholat,
maka barangsiapa meninggalkannya, sungguh-sungguh ia telah kafir.” (Hadits
Riwayat At-Tirmidzi dalam Sunannya nomor 2621dan An-Nasaai dalam Sunannya
1/231, dan At-Tirmidzi berkata hadits ini hasan shohih ghorib).
Tafsir Ibnu Katsir, tahqiq Sami
As-Salamah, juz 5 hal 243).
Penuturan dalam
ayat Al-Quran ini membicarakan orang-orang saleh, terpilih, bahkan nabi-nabi
dengan sikap patuhnya yang amat tinggi. Mereka bersujud dan menangis ketika
dibacakan ayat-ayat Allah. Namun selanjutnya, disambung dengan ayat yang
memberitakan sifat-sifat generasi pengganti yang jauh berbeda, bahkan
berlawanan dari sifat-sifat kepatuhan yang tinggi itu, yakni sikap generasi penerus yang
menyia-nyiakan shalat dan mengumbar hawa nafsu.
Betapa
menghujamnya peringatan Allah dalam Al-Quran dengan cara
menuturkan sejarah "keluarga pilihan" yang datang setelah mereka
generasi manusia bobrok yang sangat merosot moralnya.
Bobroknya akhlaq manusia dari keturunan orang yang disebut manusia
pilihan, berarti
merupakan tingkah yang keterlaluan. Bisa kita bayangkan dalam kehidupan ini.
Kalau ada ulama besar, saleh dan benar-benar baik, lantas keturunannya tidak bisa menyamai kebesarannya
dan tak mampu mewarisi keulamaannya, maka ucapan yang pas adalah:.
"Sayang, kebesaran bapaknya tidak diwarisi anak-anaknya.” Itu baru masalah
mutu keilmuan nya yang merosot. lantas, kata dan ucapan apa lagi yang bisa
untuk menyayangkan bejat dan bobroknya generasi pengganti orang-orang suci dan
saleh itu? Hanya ucapan “seribu kali sayang” yang mungkin bisa kita ucapkan.
Setelah kita bisa
menyadari betapa tragisnya keadaan yang dituturkan Al-Quran itu, agaknya perlu
juga kita bercermin di depan kaca. Melihat diri kita sendiri, dengan
memperbandingkan apa yang dikisahkan Al-Quran.
Kisah ayat itu,
tidak menyinggung-nyinggung orang-orang yang membangkang di saat hidupnya para Nabi
pilihan Allah. Sedangkan jumlah orang yang membangkang tidak sedikit, bahkan
melawan para Nabi dengan berbagai daya upaya. Ayat itu tidak menyebut
orang-orang kafir, bukan berarti tidak ada orang-orang kafir. Namun dengan
menyebut keluarga-keluarga pilihan itu justru merupakan pengkhususan yang lebih
tajam. Di saat banyaknya orang kafir berkeliaran di bumi, saat itu ada
orang-orang pilihan yang amat patuh kepada Allah. Tetapi, generasi taat ini
diteruskan oleh generasi yang bobrok akhlaqnya. Ini yang jadi masalah besar.
Dalam kehidupan
yang tertera dalam sejarah kita, Muslimin yang taat, di saat penjajah berkuasa,
terjadi perampasan hak, kedhaliman merajalela dan sebagainya, ada tanam paksa
dan sebagainya; mereka yang tetap teguh dan ta'at pada Allah itu adalah
benar-benar orang pilihan. Kaum muslimin yang tetap menegakkan Islam di saat
orientalis dan antek-antek penjajah menggunakan Islam sebagai sarana
penjajahan, namun kaum muslimin itu tetap teguh mempertahankan Islam dan tanah
airnya, tidak hanyut kepada iming-iming jabatan untuk ikut menjajah bangsanya,
mereka benar-benar orang-orang pilihan.
Sekalipun tidak
sama antara derajat kesalehan para Nabi yang dicontohkan dalam Al-Quran itu,
dengan derajat ketaatan kaum Muslimin yang taat pada Allah di saat gencarnya
penjajahan itu, namun alur peringatan ini telah mencakupnya. Dengan demikian,
bisa kita fahami bahwa ayat itu mengingatkan, jangan sampai terjadi lagi apa
yang telah terjadi di masa lampau. Yaitu generasi pengganti yang jelek, yang
menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa nafsunya.
Peringatan yang
sebenarnya tajam ini perlu disebar luaskan, dihayati dan dipegang benar-benar,
dengan penuh kesadaran, agar tidak terjadi tragedi yang telah menimpa kaum Bani
Israel, yaitu generasi jelek, bobrok, meninggalkan shalat dan mengikuti syahwat.
Memberikan hak shalat
Untuk itu, kita
harus mengkaji diri kita lagi. Sudahkan peringatan Allah itu kita sadari dan
kita cari jalan keluarnya?
Mudah-mudahan
sudah kita laksanakan. Tetapi, tentu saja bukan berarti telah selesai. Karena
masalahnya harus selalu dipertahankan. Tanpa upaya mempertahankannya,
kemungkinan akan lebih banyak desakan dan dorongan yang mengarah pada
"adho'us sholat" (menyia-nyiakan atau meninggalkan shalat) wattaba'us
syahawaat (dan mengikuti syahwat hawa nafsu).
Suatu misal,
kasus nyata, bisa kita telusuri lewat pertanyaan-pertanyaan. Sudahkah kita
berikan dan kita usahakan hak-hak para pekerja/ buruh, pekerja kecil, pembantu
rumah tangga, penjaga rumah makan, penjaga toko dan sebagainya untuk diberi
kebebasan mengerjakan shalat pada waktunya, terutama maghrib yang waktunya
sempit? Berapa banyak pekerja kecil semacam itu yang terhimpit oleh peraturan
majikan, tetapi kita umat Islam diam saja atau belum mampu menolong sesama
muslim yang terhimpit itu?
Bahkan, dalam
arena pendidikan formal, yang diseleng-garakan dengan tujuan membina manusia
yang bertaqwa pun, sudahkah memberi kebebasan secara baik kepada murid dan guru
untuk menjalankan shalat? Sudahkah diberi sarana secara memadai di
kampus-kampus dan
tempat-tempat pendidikan untuk menjalan-kan shalat? Dan sudahkah para murid itu
diberi bimbingan secara memadai untuk mampu mendirikan shalat sesuai dengan
yang diajarkan Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam ?
Kita perlu
merenungkan dan menyadari peringatan Allah dalam ayat tersebut, tentang adanya
generasi yang meninggalkan shalat dan menuruti syahwat.
Ayat-ayat
Al-Quran yang telah memberi peringatan dengan tegas ini mestinya kita sambut
pula dengan semangat menang-gulangi munculnya generasi sampah yang
menyianyiakan shalat dan bahkan mengumbar syahwat. Dalam arti penjabaran dan
pelaksanaan agama dengan
amar ma'ruf nahi munkar secara konsekuen dan terus menerus, sehingga dalam hal
beragama, kita akan mewariskan generasi yang benar-benar diharapkan, bukan
generasi yang bobrok seperti yang telah diperingatkan dalam Al-Quran itu.
Fakir miskin, keluarga, dan
mahasiswa
Dalam hubungan
kemasyarakatan yang erat sekali hubungannya dengan ekonomi, terutama
masalah kemiskinan, sudahkah kita memberi sumbangan sarung atau mukena/ rukuh
kepada fakir miskin, agar mereka bisa tetap shalat di saat mukenanya yang
satu-satunya basah ketika dicuci
pada musim hujan?
Dalam urusan
keluarga, sudahkah kita selalu menanya dan mengontrol anak-anak kita setiap
waktu shalat, agar mereka tidak lalai?
Dalam urusan
efektifitas da’wah, sudahkah kita menghidup-kan jama'ah di masjid-masjid kampus
pendidikan Islam: IAIN (Institut Agama Islam Negeri) ataupun STAIN (Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri) yang jelas-jelas mempelajari Islam itu, agar para
alumninya ataupun mahasiswa yang masih belajar di sana tetap menegakkan shalat,
dan tidak mengarah ke pemikiran sekuler yang nilainya sama juga dengan
mengikuti syahwat?
Lebih penting
lagi, sudahkah kita mengingatkan para pengurus masjid atau mushalla atau
langgar untuk shalat ke masjid yang diurusinya? Bahkan sudahkah para pegawai
yang kantor-kantor menjadi lingkungan masjid, kita ingatkan agar shalat
berjamaah di
Masjid yang menjadi tempat mereka bekerja, sehingga tidak tampak lagi sosok-sosok
yang tetap bertahan di meja masing-masing --bahkan sambil merokok lagi-- saat
adzan dikuman-dangkan?
Masih banyak lagi
yang menjadi tanggung jawab kita untuk menanggulangi agar tidak terjadi
generasi yang meninggalkan shalat yang disebut dalam ayat tadi.
Shalat, tali Islam yang terakhir
Peringatan yang
ada di ayat tersebut masih ditambah dengan adanya penegasan dari Rasulullah,
Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam
لَيَنْقُضَنَّ عُرَا اْلإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا
انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِيْ تَلِيْهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا
الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ. (رواه أحمد).
“Tali-tali Islam pasti akan putus satu-persatu. Maka
setiap kali putus satu tali (lalu) manusia (dengan sendirinya) bergantung
dengan tali yang berikutnya. Dan tali Islam yang pertamakali putus adalah
hukum(nya), sedang yang terakhir (putus) adalah shalat. (Hadits Riwayat Ahmad
dari Abi Umamah menurut Adz – Dzahabir perawi Ahmad perawi).
Hadits Rasulullah
itu lebih gamblang lagi, bahwa putusnya tali Islam yang terakhir adalah shalat.
Selagi shalat itu masih ditegakkan oleh umat Islam, berarti masih ada tali
dalam Islam itu. Sebaliknya kalau shalat sudah tidak ditegakkan, maka putuslah Islam keseluruhannya, karena shalat adalah tali yang
terakhir dalam Islam. Maka tak mengherankan kalau Allah menyebut tingkah
"adho'us sholah" (menyia-nyiakan/ meninggalkan shalat) dalam ayat
tersebut diucapkan pada urutan lebih dulu dibanding "ittaba'us
syahawaat" (menuruti syahwat), sekalipun tingkah menuruti syahwat itu
sudah merupakan puncak kebejatan moral manusia. Dengan demikian, bisa kita
fahami, betapa memuncaknya nilai jelek orang-orang yang meninggalkan shalat,
karena puncak kebejatan moral berupa menuruti syahwat pun masih pada urutan
belakang dibanding tingkah meninggalkan shalat.
Di mata manusia,
bisa disadari betapa jahatnya orang yang mengumbar hawa nafsunya. Lantas, kalau
Allah memberikan kriteria meninggalkan shalat itu lebih tinggi kejahatannya,
berarti kerusakan yang amat parah. Apalagi kalau kedua-duanya, dilakukan
meninggalkan shalat, dan menuruti syahwat, sudah bisa dipastikan betapa
beratnya kerusakan.
Tiada perkataan
yang lebih benar daripada perkataan Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal ini Allah
dan Rasul-Nya sangat mengecam orang yang meninggalkan shalat dan menuruti
syahwat. Maka marilah kita jaga diri kita dan generasi keturunan kita dari
kebinasaan yang jelas-jelas diperingatkan oleh Allah dan Rasul-Nya itu.
Mudah-mudahan kita tidak termasuk mereka yang telah dan akan binasa akibat melakukan pelanggaran
amat besar, yaitu meninggalkan shalat dan menuruti syahwat. Amien.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ
وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ
هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ.
Khutbah Kedua
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ
وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ
يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ
وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا
اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
قَالَ تَعَالَى: {وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا} وَقَالَ: {وَمَن يَتَّقِ
اللهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا}
ثُمَّ اعْلَمُوْا فَإِنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ
عَلَى رَسُوْلِهِ فَقَالَ: {إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ،
يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا}.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا
صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ
وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ،
إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ. اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ،
وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا
حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا
مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ
إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى
الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ
وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ
مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.