Aku, Dia, dan Takdir
Aku Dia dan Takdir
LAILATUL FADRI
SUATU hari di tahun 2019, di SMP Muhammadiyah, ada dua sahabat yang jenius namun memiliki perbedaan bidang. "Hai namaku Tiara Nugraha. Aku berparas cantik dan bergelimang harta. Umurku 13 tahun.” Oh iya, yang paling menarik, aku berprestasi bidang seni lukis. Aku sering memenangkan lomba yang diadakan di sekolah maupun di luar sekolah.
Di sekolah, aku punya sahabat cewek namanya Isela Dwi, dan satu musuh cowok (teman masa
kecil), yaitu Genta Bumi. Isela itu bucin habis. Dia bisa sayang banget sama cowok yang cuma
manfaatin dia aja. Karena bucinnya, dia tetap tidak sadar kalau dia dimanfaatin. And my enemies
Genta: super nyebelin dan super rese pokoknya.
Kini kami kelas VIII SMP. Aku dan genta adalah pengurus OSIS. Genta adalah ketua OSIS. Aku
adalah wakil Ketuanya. Satu organisasi sama Genta itu benar-benar musibah. Genta yang
pendiam tapi dipilih semua siswa. Sedangkan, aku yang hampir sempurna malah jadi wakil nya.
Cerita sebenarnya dimulai ketika pertengahan semester 1, di tahun kedua kami di SMP. Tahun ini
ada perlombaan nasional, yaitu lomba melukis, sains, dan matematika tingkat provinsi. Ya, seperti
biasa tiap ada perlombaan, aku pasti ikut mewakili sekolah dan organisasiku.
Pagi itu, aku heran karena tak ada pengumuman seperti biasanya. Saat jam pelajaran pertama
selesai, salah seorang temanku datang ke kelas, memanggilku dan Genta untuk datang ke ruangan
Pak Sidar—guru olahraga yang selalu membimbing anak-anak yang ikut olimpiade.
Aku dan genta pun ke ruangan Pak Sidar. Di sana Pak Sidar mempersilahkan kami duduk, lalu
menjelaskan persyaratan untuk olimpiade yang akan kami ikuti: olimpiade sains akan diikuti oleh
peserta wanita. Sedangkan lomba melukis dilakukan oleh laki-laki. Sontak aku dan genta terkejut
dengan apa yang dikatakan Pak Sidar. "Tidak....!”, teriak kami. Kami tidak pernah bertukar peran,
tapi kali ini kami harus saling tukar peran, oh my gosh...
Aku bukan tidak pandai dalam hal sains atau matematika, tapi aku lebih ahli dalam melukis.
Genta pun sama, bahkan ia sama sekali tak mengerti seni. “Pada tahun ini aturan perlombaan dan
olimpiade diubah, jadi kalian mau tidak mau harus bertukar peran dan saling membantu satu
sama lain, karena kalian harapan sekolah,” kata Pak Sidar. Karena itulah pikiranku jadi kacau,
bagaimana mungkin aku dan Genta harus saling bantu. Tanpa sepatah kata pun kami keluar
ruangan, lalu masuk kelas, memberi tahu semua yang terjadi pada Isela.
Tibalah saatnya olimpiade, saat di mana aku benar-benar gugup dan tak tenang. Tapi Genta malah
tenang-tenang saja. Aku ditemani ibu Nadia—guru IPA di sekolah kami. Sedangkan Genta
ditemani Pak Sidar. Lomba berjalan sengit. Akhirnya aku memenangkan olimpiade dengan
peringkat kedua. Dan Genta mendapat peringkat ketiga dari lomba melukis yang ia ikuti. Kami
berdua tidak berhasil mempertahankan peringkat masing-masing. Kami diam tanpa kata. Lalu
Pak Sidar bilang, "Jangan bersedih karena setidaknya kita masih membawa piala." Kami hanya
mengangguk kepala.
Pada akhirnya, aku tahu arti perlombaan sebenarnya tidak harus menang. Yang penting niat dan
prosesnya. Permusuhan di antara aku dan Genta pun mulai sedikit hilang. Tapi memang tidak
dipungkiri bahwa Genta benar-benar menyebalkan. Semakin sering bersamanya, semakin ia
menyebalkan. Tapi anehnya. Aneh sekali karena di suatu malam tertentu, aku tak dapat tidur.
Aku mulai merasakan ada cinta di hatiku untuknya. Tapi aku cuek nan dingin. Aku benci
mengatakan ini, tapi dia benar-benar sweet.
--
Aku bukan anak dari orang tua yang punya kedudukan. Papaku pekerja biasa. Ibuku hanyalah ibu
rumah tangga. Kami hidup dalam kesederhanaan, tapi kami memiliki banyak kebahagiaan. Aku
pernah punya kakak laki-laki, tapi meninggal di usianya yang masih muda. Masalah yang kita
hadapi, tidak selamanya akan membuat kita menderita. Jadi, teruslah berjuang dan berusaha
menggapai yang terbaik.
---
Genta sebenarnya memiliki sisi penyayang. Dia bukan anak dari orang tua yang punya
kedudukan. Ayahnya pekerja biasa. Ibunya hanyalah ibu rumah tangga. Ia hidup dalam
kesederhanaan, tapi memiliki banyak kebahagiaan. Ia pernah punya kakak laki-laki, tapi
meninggal di usianya yang masih muda. Kami berteman dengannya sejak duduk di bangku
sekolah dasar. Orang tua kami dekat. Genta itu anak yang manis,
pintar dalam bidang sains, pendiam, periang.
Aku membencinya karena sikapnya yang dingin dan cuek. Sikapnya
itu mungkin karena belum bisa move on atas kematian kakaknya. Di
sana ia jadi agak pendiam. Hal ini karena rasa sakit yang dirasakannya
begitu dalam.
Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, aku sudah mulai
menyukai Genta karena sikapnya yang pendiam itu, dan karena
kepintarannya dalam sains. Perasaan itu tak pernah kunyatakan
hingga kami duduk di bangku SMP. Tapi sebenarnya, sampai saat ini
aku masih tidak berani. Kini kami berdua tumbuh jadi remaja yang
umum seperti orang lain: merasakan jatuh cinta. Ketika dia kesal dengan sikapku yang bawel dan
dia marah. Tapi dia terlihat manis di mataku:)
Saat olimpiade untuk bidang sains yang pesertanya harus perempuan, tentu Genta tidak bisa ikut.
Maka aku sendiri yang harus menggantikannya sebagai peserta bidang sains. Padahal dia itu
pintar, dan kelemahannya dalam bidang melukis yang justru harus dia ikuti. Tapi aku yakin dia
akan bisa mengikutinya. Sialnya, malah aku yang harus menggantikan dia untuk lomba sains yang
biasa dia ikuti. Pak Sidar yakin kalau aku mampu, namun aku sendiri tidak yakin. Kami
menjalankan latihan: aku berlatih rumus sains—sedikit kaku jadi mustahil untuk juara 1. Aku
bekerja keras dan terus mencobanya. Saat itu kami berdua ditinggalkan oleh Pak Sidar, karena
beliau ada keperluan mendesak. Aku mendadak diam dan Genta pun begitu. Namun tiba-tiba
perutku sakit. Aku bangun dari bangku hendak berjalan menuju toilet, tapi kakiku malah
tersangkut dan hampir terjatuh. Spontan Genta menangkapku.
Mukaku terasa panas dan juga muka genta memerah. Jantungku berdetak kencang. Mataku hanya
tertuju pada Gnta. Seketika aku sadar dan langsung berlari dari hadapannya tanpa kata-kata, lalu
ia berteriak: “Jangan lari nanti kesandung lagi.”
Kami lalu pulang karena jam latihan telah selesai. Aku keluar ruangan tanpa kata-kata. Rasanya
benar-benar canggung. Dalam hatiku bergumam, "Ahhh kenapa begitu canggung". Keesokan
harinya kami bersekolah seperti biasa. Setibanya di kelas, Genta menatapku. Saat aku membalas
tatapannya, dia langsung memalingkan pandangannya. Aku tahu alasannya karena kejadian
kemarin di ruang olahraga. Dari hari ke hari kami tetap saja begini: aku tidak berani menyatakan
perasaanku pada Genta. Aku hanya bisa memendamnya. Kami berhadap akan datangnya satu
masa ketika salah satu dari kami berani mengungkapnya.*